Blog Archive

About Me

Foto Saya
Rhizophora
Rhizophora, Lembaga Studi dan Pengembangan Lingkungan adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pengkajian dan pengembangan lingkungan terutama di bidang sumber daya alam dan konservasi lingkungan. Rhizophora didirikan untuk merespon berbagai isu lingkungan yang sedang berkembang dan juga memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Rhizophora memperluas jangkauannya pada pelbagai kelompok di luar lembaga seperti instansi pemerintah terkait, LSM, organisasi penjaga lingkungan, organisasi mahasiswa, lembaga penelitian & pengabdian kepada masyarakat perguruan tinggi, swasta, dll.
Lihat profil lengkapku
Minggu, 11 April 2010

Sekarang Website Udah Mulai Aktif





Setelah otak atik buku segala macem akhirnya ngerti juga bgmn management web dengan Joomla. Cukup menarik seee, bikin orang penasaran aja... untung ada mbah google, kopi tubruk n Turi`s Flowers yang setia menemani begadang dan dengan bangga terbentuklah web ini Rhizophora @ http://rhizophora.byethost3.com/ .... masih kosong......kosong.........tolong dibantu yaaa....

Pengerjaan web ini merupakan lanjutan perjuangan dari simbah dayoen... yang masih dalam acara Mencoba Eksis Jilid 2

Mohon saran2 dari temen2

ini ada sedikit previewnya



masih kosong......kosong.........tolong dibantu yaaa....
Senin, 22 Maret 2010

PERMASALAHAN PEMERATAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM


Oleh:
Hafid Zain M
(LSM Rhizophora Malang)


Photo: lahan miring di Kab. Lumajang yang digunduli. Rawan longsor.


Potensi kekayaan sumber daya alam Ibu Pertiwi dinilai berbagai pakar di dalam negeri dan luar negeri sebagai zamrud katulistiwa. Sumber daya alam di Indonesia terhampar dari ujung pulau Sumatra sampai dengan tanah hitam Pulau Papua. Sumber daya hutan tropis yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya sebagai penyangga kehidupan manusia ada di setiap pulau di Indonesia. Laut dengan keindahannya dan produktivitasnya menjadi ladang mencari rejeki nelayan di tanah air. Sumbangan oksigen dari bumi pertiwi inipun telah membantu sekian miliar umat di dunia.

Catatan telah membuktikan, walaupun kekayaan alam yang sebegitu besar dimiliki, tidak selalu langsung menjadikan bangsa ini mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di negara dunia ketiga (negara berkembang). Kekayaan alam yang tinggi tidak seratus persen menjamin kemakmuran bangsanya. Pendapatan kotor per kapita Bangsa Indonesia masih jauh di bawah Malaysia sebagai sesama negara di Kawasan Asia Tenggara. GNP Indonesia pada 1 Juli 2009 sebesar US$ 3.830 per tahun dan menduduki peringkat ke 145. Pada waktu yang sama, Malaysia menduduki urutan ke 79 dengan GNP per kapita sebesar US$ 13.740 per tahun. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Pemanfaatan sumber daya alam telah dilakukan muali jaman orde lama, orde baru, sampai dengan era reformasi sekarang. Berbagai produk perundangan telah di keluarkan oleh lembaga legislatif demi menunjang pemanfaatan sumber daya alam yang mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat umum. Era otonomi daerah pun kita lalui dengan munculnya UU tentang otonomi daerah yang memberikan kebebasan kepada tingkat II dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berada di daerahnya. Era desentralisasi ini telah kita lalui selama hampir 11 tahun (setelah disahkannya UU 22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintah daerah). Hasil yang kita peroleh masih jauh dari harapan. Berita-berita televisi masih banyak mengabarkan tentang kemiskinan dan penderitaan yang terjadi diberbagai pelosok Indonesia. Bencana kelaparan, demo terkait perebutan lahan, sampai dengan bencana yang akhir-akhir ini sering terjadi.

Selain kekayaan alam yang melimpah di Indonesia, negara ini juga memiliki ribuan sampai dengan jutaan kaum intelek dengan menyandang gelar mulai sarjana sampai dengan doktor dan profesor. Disetiap propinsi terdapat sarana penggemblengan sumber daya manusia yang kualitasnya pantas untuk di tandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Lembaga-lembaga riset yang konsen dengan pengembangan sumber daya alam juga tidak terhitung jumlahnya di negara ini. LIPI dengan semua sumberdya yang dimiliki, kementrian riset, kelautan, sampai dengan lembaga penelitian dan pengembangan di tingkat propinsi juga telah menelorkan berbagai hasil penelitian dalam upaya pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam demi kemakmuran bangsa.

Bila dicermati, dengan modal yang luar biasa, kekayaan alam yang melimpah, sumber daya manusia yang telah cukup teruji, serta sistem regulasi yang telah di buat dari berbagai generasi, seharusnya telah terjadi peningkatan kemakmuran dan pemerataan pembangunan di Indonesia. Kenyataan ini tidak terbukti. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang selah dengan kita Bangsa Indonesia?

Hal ini terjadi diakibatkan setidaknya oleh empat faktor utama, yaitu; a) kualitas implementasi perundangan dan kebijakan, b) tingginya budaya korupsi dan kolusi di negara indonesia, c) penegakan hukum yang runcing kebawah dan tumpul keatas, dan d) munculnya raja-raja baru di daerah seiring adanya era desentralisasi (otoda).

Kualitas Implementasi perundangan dan kebijakan

Peraturan perundangan yang telah dibuat seharusnya mendorong kepada pemerataan dan keberdayaan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam kita. Bila berbicara tentang implementasi perundangan dan kebijakan di Indonesia bagaikan membicarakan borok di tubuh sendiri. Bukan menjadi rahasia lagi, tingkat implementasi perundangan dan kebijakan di Indonesia sangat buruk. Undang konservasi sumber daya alam, pengelolaan sumber daya alam, telah buat dan disahkan. Namun demikian tingkat implementasinya baik oleh pihak yang berwenang maupun oleh masyarakat telah banyak dilanggar. Hal ini menjadikan suatu kawasan yang seharusnya terlindung dari kerusakan akibat perbuatan manusia menjadi lahan perebutan. Akibatnya lahan yang seharusnya merupakan tabungan kita untuk kehidupan generasi penerus kita telah rusak dan untuk mengembalikannya diperlukan energi yang tidak sedikit.

Tingginya budaya korupsi dan kolusi di Negara Indonesia

Korupsi identik dengan kerakusan. Tingkat korupsi di Indonesia menempati urutan ke 69 di dunia. Kerakusan segelintir manusia menjadikan alam sudah tidak mampu lagi memberikan pelayanannya kepada manusia. Hal ini seperti yang di katakan Mahatma Gandhi “Alam dengan segala isinya ada untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia dan penghuninya. Segelintir manusia dengan kerakusannya merusak harmoni tersebut, sehingga alam sudah tidak mampu lagi untuk dapat memenuhi kebutuhan setiap manusia”. Keserakahan segelintir manusia telah merusak kekayaan alam kita, perusakan hutan (ilegal loging), penangkapan ikan ilegal (ilegal fishing) telah merusak keharmonian alam. Pelayanan yang selama ini telah diberikan oleh alam terganggu dan mengalami destorasi.
Kolusi telah menjadikan penanganan sesuatu menjadi tidak lagi ditangani oleh pihak yang memiliki keahlian di bidang tersebut. Hasilnya adalah ketimpangan dan kemerosotan nilai yang berdampak luas terhadap keselarasan kegiatan pembangunan dan pengelolaan seumber daya alam.

Penegakan Hukum yang runcing kebawah, dan tumpul keatas

Supremasi hukum mengalami titik terpuruknya di masa ini. Runcingnya jarum hukum kebawah menjadikan keadilan sudah tidak ditemui lagi di negara kita ini. Data dan fakta telah menunjukkan lemahnya penegakan hukum bila ia telah menyentuh baju pejabat dan golongan orang berdasi. Nilai keadilan ini dapat kita persepsikan sebagai nilai pemerataan pembangunan dan kemakmuran yang tidak dapat dinikmati oleh semua orang.

Munculnya raja-raja baru di daerah di masa desentrasisasi

Era desentralisasi telah memunculkan raja-raja baru di daerah tingkat dua. Pengelolaan sumber daya hutan mengalami dampak negatif dari kepentingan sekelompok penguasa di daerah. Peningkatan kerusakan hutan terjadi, dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan. Adanya otonomi daerah yang tidak terkontrol menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah. Bencana yang diakibatkannya pun terasa oleh semua pihak, terutama mayarakat tidak mampu. Tanh longsor, banjir karena drainase kota yang buruk, serta pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya sebagian besar diakibatkan oleh saling berlombanya raja-raja di daerah dalam mengeksploitasi daerahnya tanpa pertimbangan dan memperhatikan kebutuhan generasi masa depan. (Hafid; 2010)

Sabtu, 13 Februari 2010

Terumbu Karang (Potensi Laut yang Terabaikan)

Sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan, sehingga secara alamiah bangsa Indonesia merupakan bangsa bahari. Hal ini ditambah lagi dengan letak wilayah Indonesia yang strategis diwilayah tropis. Hamparan laut yang luas merupakan suatu potensi bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan sumberdaya laut yang memiliki keragaman, baik sumberdaya hayati maupun sumberdaya lainnya.

Sebagai suatu bangsa bahari yang memiliki wilayah laut yang luas dan dengan ribuan pulau besar dan kecil yang tersebar didalamnya, maka derajat keberhasilan bangsa Indonesia juga ditentukan dalam memanfaatkan dan mengelola wilayah laut yang luas tersebut. Keunikan dan keindahan serta keanekaragaman kehidupan bawah laut dari kepulauan Indonesia yang membentang luas di cakrawala khatulistiwa masih banyak menyimpan misteri dan tantangan terhadap potensinya.

Salah satu dari potensi tersebut atau sumberdaya hayati yang tak ternilai harganya dari segi ekonomi atau ekologinya adalah sumberdaya terumbu karang, apabila sumberdaya terumbu karang ini dikaitkan dengan pengembangan wisata bahari mempunyai andil yang sangat besar. Karena keberadaan terumbu karang tersebut sangat penting dalam pengembangan berbagai sektor termasuk sektor pariwisata.

Dalam peristilahan 'terumbu karang', "karang" yang dimaksud adalah koral, sekelompok hewan dari ordo Scleractinia yang menghasilkan kapur sebagai pembentuk utama terumbu. Terumbu adalah batuan sedimen kapur di laut, yang juga meliputi karang hidup dan karang mati yang menempel pada batuan kapur tersebut. Sedimentasi kapur di terumbu dapat berasal dari karang maupun dari alga. Secara fisik terumbu karang adalah terumbu yang terbentuk dari kapur yang dihasilkan oleh karang. Di Indonesia semua terumbu berasal dari kapur yang sebagian besar dihasilkan koral. Kerangka karang mengalami erosi dan terakumulasi menempel di dasar terumbu.Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae.
.
Gambar 1. Ekosistem Terumbu Karang
Image (http://komitmenku.files.wordpress.com/2008/07/pb130044.jpg)


Ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis¬jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis¬jenis moluska, krustasea, ekhinodermata, polikhaeta, porifera, dan tunikata serta biota-biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya, termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis nekton



Gambar 2. Ekosistem terumbu karang (atas), karang terumbu dan matriks terumbu (tengah), serta insert hewan karang (bawah)

Tipe-tipe terumbu karang
Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan. Ketiga tipe tersebut adalah (gambar 2):

1. Terumbu karang tepi (fringing reefs)

Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar. Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), P. Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali).

2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.5¬2 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh: Great Barrier Reef (Australia), Spermonde (Sulawesi Selatan), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah).

3. Terumbu karang cincin (atolls)

Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau¬pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter. Contoh: Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua)


Gambar 3. Tipe-tipe terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi (kiri), terumbu karang penghalang (tengah), dan terumbu karang cincin (kanan).


Namun demikian, tidak semua terumbu karang yang ada di Indonesia bisa digolongkan ke dalam salah satu dari ketiga tipe di atas. Dengan demikian, ada satu tipe terumbu karang lagi yaitu:

4. Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs)

Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar. Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh)
Distribusi terumbu karang
Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2, dengan batas sebaran di sekitar perairan dangkal laut tropis, antara 30 °LU dan 30 °LS. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami kerusakan atau dirusak oleh kegiatan manusia setidaknya terjadi di 93 negara. Gambar 1 memperlihatkan peta lokasi sebaran ekosistem terumbu karang di seluruh dunia.


Gambar 4. Distribusi terumbu karang dunia


Berdasarkan distribusi geografinya maka 60% dari terumbu dunia ditemukan di Samudera Hindia dan Laut Merah, 25% berada di Samudera Pasifik dan sisanya 15% terdapat di Karibia. Pembagian wilayah terumbu karang dunia yang lain dan lebih umum digunakan adalah:

a. Indo-Pasifik,
Region Indo-Pasifik terbentang mulai dari Asia Tenggara sampai ke Polinesia dan Australia, ke bagian barat sampai ke Samudera sampai Afrika Timur. Region ini merupakan bentangan terumbu karang yang terbesar dan terkaya dalam hal jumlah spesies karang, ikan, dan moluska.

b. Atlantik bagian barat,
Region Atlantik Barat terbentang dari Florida sampai Brazil, termasuk daerah Bermuda, Bahamas, Karibia, Belize dan Teluk Meksiko.

c. Laut Merah,
Region Laut Merah, terletak di antara Afrika dengan Saudi Arabia.
Terumbu karang adalah ekosistem khas daerah tropis dengan pusat penyebaran di wilayah Indo-Pasifik. Terbatasnya penyebaran terumbu karang di perairan tropis dan secara melintang terbentang dari wilayah selatan Jepang sampai utara Australia dikontrol oleh faktor suhu dan sirkulasi permukaan (surface circulation). Penyebaran terumbu karang secara membujur sangat dipengaruhi oleh konektivitas antar daratan yang menjadi stepping stones melintasi samudera. Kombinasi antara faktor lingkungan fisik (suhu dan sirkulasi permukaan) dengan banyaknya jumlah stepping stones yang terdapat di wilayah Indo-Pasifik diperkirakan menjadi faktor yang sangat mendukung luasnya pemencaran terumbu karang dan tingginya keanekaragaman hayati biota terumbu karang di wilayah tersebut (gambar 4).

Gambar 5. Kekayaan jenis karang, ikan, dan moluska di tiap wilayah utama terumbu karang dunia.
Kehidupan Di Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut utama, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Terumbu karang dan segala kehidupan yang ada didalamnya merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki bangsa Indonesia yang tak ternilai harganya. Diperkirakan luas terumbu karang yang terdapat di perairan Indonesia adalah lebih dari 60.000 km2, yang tersebar luas dari perairan Kawasan Barat Indonesia sampai Kawasan Timur Indonesia (Walters, 1994 dalam Suharsono, 1998).

Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang merupakan tiga eksosistim penting di daerah pesisir. Hutan bakau dan padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam melindungi pantai dari ancaman abrasi dan erosi serta tempat pemijahan bagi hewan-hewan penghuni laut lainnya. Terumbu karang merupakan rumah bagi banyak mahkluk hidup laut. Diperkirakan lebih dari 3.000 spesies dapt dijumpai pada terumbu karang yang hidup di Asia Tenggara. Terumbu karang lebih banyak mengandung hewan vertebrata. Beberapa jenis ikan seperti ikan kepe-kepe dan betol menghabiskan seluruh waktunya di terumbu karang, sedangkan ikan lain seperti ikan hiu atau ikan kuwe lebih banyak menggunakan waktunya di terumbu karang untuk mencari makan. Udang lobster, ikan scorpion dan beberapa jenis ikan karang lainnya diterumbu karang bagi mereka adalah sebagai tempat bersarang dan memijah. Terumbu karang yang beraneka ragam bentuknya tersebut memberikan tempat persembunyian yang baik bagi iakn. Di situ hidup banyak jenis ikan yang warnanya indah. Indonesia memiliki lebih dari 253 jenis ikan hias laut. Bagi masyarakat pesisir terumbu karang memberiakn manfaat yang besar , selain mencegah bahay abrasi mereka juga memerlukan ikan, kima kepiting dan udang barong yang hidup di dalam terumbu karang sebagai sumber makan dan mata pencaharian mereka.

Fungsi Dan Manfaat Terumbu Karang

Setelah mengenali, maka cintai dan peliharalah terumbu karang, karena terumbu karang mempunyai fungsi dan manfaat serta arti yang amat penting bagi kehidupan manusia baik segi ekonomi maupun sebagai penunjang kegiatan pariwisata dan manfaat serta terumbu karang adalah:

  1. Proses kehidupan yang memerlukan waktu yang sangat lama untuk tumbuh dan berkembang biak untuk membentuk seperti kondisi saat ini.
  2. Tempat tinggal, berkembang biak dan mencari makan ribuan jenis ikan, hewan dan tumbuhan yang menjadi tumpuan kita.
  3. Indonesia memiliki terumbu karang terluas didunia, dengan luas sekitar 600.000 Km persegi.
  4. Sumberdaya laut yang mempunyai nilai potensi ekonomi yang sangat tinggi.
  5. Sebagai laboratorium alam untuk penunjang pendidikan dan penelitian.
  6. Terumbu karang merupakan habitat bagi sejumlah spesies yang terancam punah serti kima raksasa dan penyu laut.
  7. Dari segi fisik terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari erosi dan abrasi, struktur karang yang keras dapat menahan gelombang dan arus sehingga mengurangi abrasi pantai dan mencegah rusaknya ekosistim pantai lain seperti padang lamun dan magrove
  8. Terumbu karang merupakan sumber perikanan yang tinggi. Dari 132 jenis ikan yang bernilai ekonomi di Indonesia, 32 jenis diantaranya hidup di terumbu karang, berbagai jenis ikan karang menjadi komoditi ekspor. Terumbu karang yang sehat menghasilkan 3 - 10 ton ikan per kilometer persegi pertahun.
  9. Keindahan terumbu karang sangat potensial untk wisata bahari. Masyarakat disekitar terumbu karang dapat memanfaatkan hal ini dengan mendirikan pusat-pusat penyelaman, restoran, penginapan sehingga pendapatn mereka bertambah
  10. Terumbu karang potensi masa depan untuk sumber lapangan kerja bagi rakyat Indonesia

(Compile by Waone Corp)

Sumber:
http://www.lablink.or.id/Eko/Wetland/lhbs-trmbu.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Terumbu_karang
http://geo.ugm.ac.id/archives/100
http://web.ipb.ac.id/~dedi_s/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=48


Sabtu, 08 Agustus 2009

BIODIVERSITAS DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA

Words by Hafid Zain M (DKP)

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 13.700 pulau dan memiliki luas 1.919.443 km2 memanjang sepanjang 5.000 km dari Barat ke Timur dan 1.700 km dari Utara ke selatan. Letak geografis Indonesia antara 950 BT sampai dengan 1410 BT dan antara 60 LU sampai dengan 110 LS (Medrizam dkk, 2004). Kondisi dan letak geografis Indonesia tersebut telah menciptakan suatu mega biodiversity yang komplek. Berbagai kajian tentang biodiversity telah banyak dilakukan di Indonesia dengan sumber pembiayaan yang relatif besar, mulai dari kegiatan Biodiversity Collections Project oleh LIPI dengan dana hibah dari Global Environment Facility (GEF) pada tahun 1994 sampai dengan 2001, Biodiversity Conservation Project oleh Puslit Biologi-LIPI yang terdiri dari dua fase dimulai tahun 1997 sampai dengan tahun 2003 dengan pendanaan dari dana hibah pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), dan berbagai aktivitas NGO lingkungan yang telah melakukan berbagai kajian dan riset mengenai keanekaragaman hayati dan kegiatan konservasinya (Medrizam dkk, 2004).

Dari sudut pandang empiris dan yuridis, upaya pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari telah dilakukan di tingkat lokal (nasional) maupun global (internasional). Di tingkat global, Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH atau United Nations Conventions on Biological Diversity) merupakan salah satu produk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.5/1994, yang pada intinya memiliki tujuan utama yaitu: (1)konservasi keanekaragaman hayati, (2)pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan (3) pembagian keuntungan yang adil dan merata dari penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai (Medrizam dkk, 2004). Kesepakatan lain yang ditandatangani oleh pemerintah di tingkat internasional ialah: Misalnya, pemerintah meratifikasi CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) melalui Keppres No. 43/1978 dan Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah melalui Keppres No.48/1991. Ditingkat nasional, kebijakan mengenai pelestarian keanekaragaman hayati adalah UU No. 5/1990 tentang Pelestarian Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Perundangan ini belum dapat dikatakan komprehensif karena cakupannya masih berbasis kehutanan dan pelestarian hanya di kawasan lindung. Padahal di luar kawasan lindung banyak sekali eksosistem yang mengalami ancaman yang setara.

Pada awal 1990an, ada beberapa kebijakan yang diharapkan dapat menjadi panduan komprehensif bagi pengelolaan keanekaragaman hayati. Misalnya, tahun 1993 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH sekarang Kementrian Lingkungan Hidup, KLH) menerbitkan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Pada saat yang hampir bersamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menerbitkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia (Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 - BAPI 1993). Dokumen BAPI ini pada tahun 2003 direvisi menjadi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) juga oleh BAPPENAS. Dokumen ini telah didokumentasikan oleh sekretariat UNCBD sebagai dokumen nasional Indonesia (Medrizam dkk, 2004).

Tiga kebijakan, yaitu UU No।5/1990, UU No.5/1994 dan IBSAP 2003 merupakan serangkaian upaya yang apabila dijalankan dapat menjadi sarana bagi pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Selain itu terdapat juga peraturan perundangan yang terkait dengan keanekaragaman hayati di Indonesia, yaitu sejak tahun 1984 pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundangan yang terkait dengan keanekaragaman hayati. Berikut ini adalah daftar peraturan-peraturan tersebut yang diklasifikasikan berdasar bentuk perundangannya seperti yang disebutkan Medrizam dkk, 2004.


1. Undang-undang

a) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity;

b) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya;

c) Undang Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

d) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;

e) Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

f) Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman ; dan

g) Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

2. Peraturan Pemerintah

a) Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1994 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional , Taman hutan Nasional Dan Taman Wisata Alam;

b) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pelestarian Jenis Tumbuhan dan Satwa ;

c) Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar ;

d) Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru;

e) Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom;

f) Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

g) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Suaka Alam Dan Daerah Perlindungan Alam;

h) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Jenis Kehidupan Liar; dan

i) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan

3. Keputusan Presiden

Keppres Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

4. Keputusan Menteri

Keputusan Menteri Bersama Menteri Pertambangan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 110/12/702।M/PE/1991 dan Nomor 346/Kpts।11/1991 tentang pedoman pengaturan bersama usaha pertambangan dan energi dalam kawasan hutan.


Adanya aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan secara tegas, sehingga upaya konservasi dan pengelolaan keanekaragaman dan kekayaan hayati secara lestari tidak kuat secara yuridis. Berbagai kerusakan hutan terjadi; ilegal loging, kebakaran hutan, dll. Kerusakan terumbu karang dari tahun-ketahun semakin meningkat (menurut WWF Indonesia masuk menjadi kawasan triangle dengan biodiversity fauna karang luar biasa). Kerusakan ekosistem pesisir, yang ditandai mengecilnya areal kawasan hutan mangrove, abrasi, serta penumpukan sampah di sepanjang pantai.

Selain peraturan, di Indonesia juga kaya dengan pemerhati-pemerhati lingkungan dan biodiversity. Ilmuwan-ilmuwan dari berbagai bidang ilmu pun banyak yang telah memiliki serentetan gelar dan pengalaman di luar negeri. Tetapi, yang menjadi pertanyaan besar, mengapa dengan bertambahnya kemajuan pemikiran kita, biodiversity dan kualitas hidup kita malah semakin menurun? Mengapa anak bangsa yang bertaji di negeri orang menjadi melempem dan tidak bernyali di negeri sendiri? Apakah yang salah pada negara subur makmur “gemah ripah loh jinawi” ini?

Sungguh memprihantinkan bila dicermati lebih dalam, konservasi dan pelestarian sumber daya alam yang merupakan tanggung jawab baik pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat belum sepenuhnya dapat diaplikasikan sehingga menyebabkan hilangnya salah satu tempat sumber biodiversity di Indonesia. Padahal potensi megabiodiversity Negara Indonesia adalah salah satu hal pening yang harus kita kepada anak cucu kita. Tidaklah naif bila pada moment ini, ditengah maraknya isu-isu global permasalahan lingkungan di dunia sebagai waktu yang tepat dalam kita berperan bersama dan berkedudukan setara dalam menyelamatkan kekayaan hayati kita untuk generasi penerus. Berperan kita sesuai porsi masing-masing (akademisi, LSM, Pemerintah, pengusaha) dengan tetap mengarah pada satu tujuan kelestarian alam buat masa depan.

Beberapa tahun belakangan ini terdengung tentang pembangunan dan konservasi yang berkelanjutan (sustainable development and conservation). Dengan adanya deklarasi dari beberapa negara tentang MDGs (Millenium Development Goals) yang mana salah satunya adalah memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang. Yang menjadi pertanyaan mendasar kita adalah telah efektifkah kegiatan konservasi yang kita lakukan dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang tertuang dalam MDGs tersebut? Seberapa persen keberhasilan kegiatan konservasi yang kita lakukan?