Blog Archive

About Me

Foto Saya
Rhizophora
Rhizophora, Lembaga Studi dan Pengembangan Lingkungan adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pengkajian dan pengembangan lingkungan terutama di bidang sumber daya alam dan konservasi lingkungan. Rhizophora didirikan untuk merespon berbagai isu lingkungan yang sedang berkembang dan juga memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Rhizophora memperluas jangkauannya pada pelbagai kelompok di luar lembaga seperti instansi pemerintah terkait, LSM, organisasi penjaga lingkungan, organisasi mahasiswa, lembaga penelitian & pengabdian kepada masyarakat perguruan tinggi, swasta, dll.
Lihat profil lengkapku
Senin, 22 Maret 2010

PERMASALAHAN PEMERATAAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM


Oleh:
Hafid Zain M
(LSM Rhizophora Malang)


Photo: lahan miring di Kab. Lumajang yang digunduli. Rawan longsor.


Potensi kekayaan sumber daya alam Ibu Pertiwi dinilai berbagai pakar di dalam negeri dan luar negeri sebagai zamrud katulistiwa. Sumber daya alam di Indonesia terhampar dari ujung pulau Sumatra sampai dengan tanah hitam Pulau Papua. Sumber daya hutan tropis yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya sebagai penyangga kehidupan manusia ada di setiap pulau di Indonesia. Laut dengan keindahannya dan produktivitasnya menjadi ladang mencari rejeki nelayan di tanah air. Sumbangan oksigen dari bumi pertiwi inipun telah membantu sekian miliar umat di dunia.

Catatan telah membuktikan, walaupun kekayaan alam yang sebegitu besar dimiliki, tidak selalu langsung menjadikan bangsa ini mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain di negara dunia ketiga (negara berkembang). Kekayaan alam yang tinggi tidak seratus persen menjamin kemakmuran bangsanya. Pendapatan kotor per kapita Bangsa Indonesia masih jauh di bawah Malaysia sebagai sesama negara di Kawasan Asia Tenggara. GNP Indonesia pada 1 Juli 2009 sebesar US$ 3.830 per tahun dan menduduki peringkat ke 145. Pada waktu yang sama, Malaysia menduduki urutan ke 79 dengan GNP per kapita sebesar US$ 13.740 per tahun. Mengapa hal ini dapat terjadi?

Pemanfaatan sumber daya alam telah dilakukan muali jaman orde lama, orde baru, sampai dengan era reformasi sekarang. Berbagai produk perundangan telah di keluarkan oleh lembaga legislatif demi menunjang pemanfaatan sumber daya alam yang mampu mensejahterakan kehidupan masyarakat umum. Era otonomi daerah pun kita lalui dengan munculnya UU tentang otonomi daerah yang memberikan kebebasan kepada tingkat II dalam pemanfaatan sumber daya alam yang berada di daerahnya. Era desentralisasi ini telah kita lalui selama hampir 11 tahun (setelah disahkannya UU 22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintah daerah). Hasil yang kita peroleh masih jauh dari harapan. Berita-berita televisi masih banyak mengabarkan tentang kemiskinan dan penderitaan yang terjadi diberbagai pelosok Indonesia. Bencana kelaparan, demo terkait perebutan lahan, sampai dengan bencana yang akhir-akhir ini sering terjadi.

Selain kekayaan alam yang melimpah di Indonesia, negara ini juga memiliki ribuan sampai dengan jutaan kaum intelek dengan menyandang gelar mulai sarjana sampai dengan doktor dan profesor. Disetiap propinsi terdapat sarana penggemblengan sumber daya manusia yang kualitasnya pantas untuk di tandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Lembaga-lembaga riset yang konsen dengan pengembangan sumber daya alam juga tidak terhitung jumlahnya di negara ini. LIPI dengan semua sumberdya yang dimiliki, kementrian riset, kelautan, sampai dengan lembaga penelitian dan pengembangan di tingkat propinsi juga telah menelorkan berbagai hasil penelitian dalam upaya pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam demi kemakmuran bangsa.

Bila dicermati, dengan modal yang luar biasa, kekayaan alam yang melimpah, sumber daya manusia yang telah cukup teruji, serta sistem regulasi yang telah di buat dari berbagai generasi, seharusnya telah terjadi peningkatan kemakmuran dan pemerataan pembangunan di Indonesia. Kenyataan ini tidak terbukti. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal ini bisa terjadi? Apa yang selah dengan kita Bangsa Indonesia?

Hal ini terjadi diakibatkan setidaknya oleh empat faktor utama, yaitu; a) kualitas implementasi perundangan dan kebijakan, b) tingginya budaya korupsi dan kolusi di negara indonesia, c) penegakan hukum yang runcing kebawah dan tumpul keatas, dan d) munculnya raja-raja baru di daerah seiring adanya era desentralisasi (otoda).

Kualitas Implementasi perundangan dan kebijakan

Peraturan perundangan yang telah dibuat seharusnya mendorong kepada pemerataan dan keberdayaan masyarakat dalam mengelola sumber daya alam kita. Bila berbicara tentang implementasi perundangan dan kebijakan di Indonesia bagaikan membicarakan borok di tubuh sendiri. Bukan menjadi rahasia lagi, tingkat implementasi perundangan dan kebijakan di Indonesia sangat buruk. Undang konservasi sumber daya alam, pengelolaan sumber daya alam, telah buat dan disahkan. Namun demikian tingkat implementasinya baik oleh pihak yang berwenang maupun oleh masyarakat telah banyak dilanggar. Hal ini menjadikan suatu kawasan yang seharusnya terlindung dari kerusakan akibat perbuatan manusia menjadi lahan perebutan. Akibatnya lahan yang seharusnya merupakan tabungan kita untuk kehidupan generasi penerus kita telah rusak dan untuk mengembalikannya diperlukan energi yang tidak sedikit.

Tingginya budaya korupsi dan kolusi di Negara Indonesia

Korupsi identik dengan kerakusan. Tingkat korupsi di Indonesia menempati urutan ke 69 di dunia. Kerakusan segelintir manusia menjadikan alam sudah tidak mampu lagi memberikan pelayanannya kepada manusia. Hal ini seperti yang di katakan Mahatma Gandhi “Alam dengan segala isinya ada untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia dan penghuninya. Segelintir manusia dengan kerakusannya merusak harmoni tersebut, sehingga alam sudah tidak mampu lagi untuk dapat memenuhi kebutuhan setiap manusia”. Keserakahan segelintir manusia telah merusak kekayaan alam kita, perusakan hutan (ilegal loging), penangkapan ikan ilegal (ilegal fishing) telah merusak keharmonian alam. Pelayanan yang selama ini telah diberikan oleh alam terganggu dan mengalami destorasi.
Kolusi telah menjadikan penanganan sesuatu menjadi tidak lagi ditangani oleh pihak yang memiliki keahlian di bidang tersebut. Hasilnya adalah ketimpangan dan kemerosotan nilai yang berdampak luas terhadap keselarasan kegiatan pembangunan dan pengelolaan seumber daya alam.

Penegakan Hukum yang runcing kebawah, dan tumpul keatas

Supremasi hukum mengalami titik terpuruknya di masa ini. Runcingnya jarum hukum kebawah menjadikan keadilan sudah tidak ditemui lagi di negara kita ini. Data dan fakta telah menunjukkan lemahnya penegakan hukum bila ia telah menyentuh baju pejabat dan golongan orang berdasi. Nilai keadilan ini dapat kita persepsikan sebagai nilai pemerataan pembangunan dan kemakmuran yang tidak dapat dinikmati oleh semua orang.

Munculnya raja-raja baru di daerah di masa desentrasisasi

Era desentralisasi telah memunculkan raja-raja baru di daerah tingkat dua. Pengelolaan sumber daya hutan mengalami dampak negatif dari kepentingan sekelompok penguasa di daerah. Peningkatan kerusakan hutan terjadi, dengan adanya kebijakan-kebijakan yang mereka keluarkan. Adanya otonomi daerah yang tidak terkontrol menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang cukup parah. Bencana yang diakibatkannya pun terasa oleh semua pihak, terutama mayarakat tidak mampu. Tanh longsor, banjir karena drainase kota yang buruk, serta pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya sebagian besar diakibatkan oleh saling berlombanya raja-raja di daerah dalam mengeksploitasi daerahnya tanpa pertimbangan dan memperhatikan kebutuhan generasi masa depan. (Hafid; 2010)

0 komentar: