Blog Archive

About Me

Foto Saya
Rhizophora
Rhizophora, Lembaga Studi dan Pengembangan Lingkungan adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada pengkajian dan pengembangan lingkungan terutama di bidang sumber daya alam dan konservasi lingkungan. Rhizophora didirikan untuk merespon berbagai isu lingkungan yang sedang berkembang dan juga memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Rhizophora memperluas jangkauannya pada pelbagai kelompok di luar lembaga seperti instansi pemerintah terkait, LSM, organisasi penjaga lingkungan, organisasi mahasiswa, lembaga penelitian & pengabdian kepada masyarakat perguruan tinggi, swasta, dll.
Lihat profil lengkapku
Sabtu, 08 Agustus 2009

BIODIVERSITAS DAN PENGELOLAANNYA DI INDONESIA

Words by Hafid Zain M (DKP)

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar di dunia dengan jumlah pulau lebih dari 13.700 pulau dan memiliki luas 1.919.443 km2 memanjang sepanjang 5.000 km dari Barat ke Timur dan 1.700 km dari Utara ke selatan. Letak geografis Indonesia antara 950 BT sampai dengan 1410 BT dan antara 60 LU sampai dengan 110 LS (Medrizam dkk, 2004). Kondisi dan letak geografis Indonesia tersebut telah menciptakan suatu mega biodiversity yang komplek. Berbagai kajian tentang biodiversity telah banyak dilakukan di Indonesia dengan sumber pembiayaan yang relatif besar, mulai dari kegiatan Biodiversity Collections Project oleh LIPI dengan dana hibah dari Global Environment Facility (GEF) pada tahun 1994 sampai dengan 2001, Biodiversity Conservation Project oleh Puslit Biologi-LIPI yang terdiri dari dua fase dimulai tahun 1997 sampai dengan tahun 2003 dengan pendanaan dari dana hibah pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA), dan berbagai aktivitas NGO lingkungan yang telah melakukan berbagai kajian dan riset mengenai keanekaragaman hayati dan kegiatan konservasinya (Medrizam dkk, 2004).

Dari sudut pandang empiris dan yuridis, upaya pengelolaan keanekaragaman hayati secara lestari telah dilakukan di tingkat lokal (nasional) maupun global (internasional). Di tingkat global, Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (KKH atau United Nations Conventions on Biological Diversity) merupakan salah satu produk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Konvensi ini mulai berlaku di Indonesia sejak tahun 1994, melalui ratifikasi dalam bentuk UU No.5/1994, yang pada intinya memiliki tujuan utama yaitu: (1)konservasi keanekaragaman hayati, (2)pemanfaatan berkelanjutan dari komponennya, dan (3) pembagian keuntungan yang adil dan merata dari penggunaan sumber daya genetis, termasuk akses yang memadai serta alih teknologi, dan melalui sumber pendanaan yang sesuai (Medrizam dkk, 2004). Kesepakatan lain yang ditandatangani oleh pemerintah di tingkat internasional ialah: Misalnya, pemerintah meratifikasi CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Flora dan Fauna Liar yang Terancam, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) melalui Keppres No. 43/1978 dan Konvensi Ramsar mengenai Lahan Basah melalui Keppres No.48/1991. Ditingkat nasional, kebijakan mengenai pelestarian keanekaragaman hayati adalah UU No. 5/1990 tentang Pelestarian Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi ekosistem dan spesies terutama di kawasan lindung. Perundangan ini belum dapat dikatakan komprehensif karena cakupannya masih berbasis kehutanan dan pelestarian hanya di kawasan lindung. Padahal di luar kawasan lindung banyak sekali eksosistem yang mengalami ancaman yang setara.

Pada awal 1990an, ada beberapa kebijakan yang diharapkan dapat menjadi panduan komprehensif bagi pengelolaan keanekaragaman hayati. Misalnya, tahun 1993 Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH sekarang Kementrian Lingkungan Hidup, KLH) menerbitkan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Pada saat yang hampir bersamaan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) menerbitkan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati untuk Indonesia (Biodiversity Action Plan for Indonesia 1993 - BAPI 1993). Dokumen BAPI ini pada tahun 2003 direvisi menjadi dokumen Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) juga oleh BAPPENAS. Dokumen ini telah didokumentasikan oleh sekretariat UNCBD sebagai dokumen nasional Indonesia (Medrizam dkk, 2004).

Tiga kebijakan, yaitu UU No।5/1990, UU No.5/1994 dan IBSAP 2003 merupakan serangkaian upaya yang apabila dijalankan dapat menjadi sarana bagi pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. Selain itu terdapat juga peraturan perundangan yang terkait dengan keanekaragaman hayati di Indonesia, yaitu sejak tahun 1984 pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundangan yang terkait dengan keanekaragaman hayati. Berikut ini adalah daftar peraturan-peraturan tersebut yang diklasifikasikan berdasar bentuk perundangannya seperti yang disebutkan Medrizam dkk, 2004.


1. Undang-undang

a) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan United Nations Convention On Biological Diversity;

b) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya;

c) Undang Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

d) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan;

e) Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

f) Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman ; dan

g) Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang.

2. Peraturan Pemerintah

a) Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1994 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam Di Zona Pemanfaatan Taman Nasional , Taman hutan Nasional Dan Taman Wisata Alam;

b) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Pelestarian Jenis Tumbuhan dan Satwa ;

c) Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar ;

d) Peraturan Pemerintah RI Nomor 13 Tahun 1994 Tentang Perburuan Satwa Buru;

e) Peraturan Pemerintah RI Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom;

f) Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 1993 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;

g) Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Suaka Alam Dan Daerah Perlindungan Alam;

h) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Penggunaan Jenis Kehidupan Liar; dan

i) Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1984 Tentang Pengelolaan

3. Keputusan Presiden

Keppres Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.

4. Keputusan Menteri

Keputusan Menteri Bersama Menteri Pertambangan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 110/12/702।M/PE/1991 dan Nomor 346/Kpts।11/1991 tentang pedoman pengaturan bersama usaha pertambangan dan energi dalam kawasan hutan.


Adanya aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya diberlakukan secara tegas, sehingga upaya konservasi dan pengelolaan keanekaragaman dan kekayaan hayati secara lestari tidak kuat secara yuridis. Berbagai kerusakan hutan terjadi; ilegal loging, kebakaran hutan, dll. Kerusakan terumbu karang dari tahun-ketahun semakin meningkat (menurut WWF Indonesia masuk menjadi kawasan triangle dengan biodiversity fauna karang luar biasa). Kerusakan ekosistem pesisir, yang ditandai mengecilnya areal kawasan hutan mangrove, abrasi, serta penumpukan sampah di sepanjang pantai.

Selain peraturan, di Indonesia juga kaya dengan pemerhati-pemerhati lingkungan dan biodiversity. Ilmuwan-ilmuwan dari berbagai bidang ilmu pun banyak yang telah memiliki serentetan gelar dan pengalaman di luar negeri. Tetapi, yang menjadi pertanyaan besar, mengapa dengan bertambahnya kemajuan pemikiran kita, biodiversity dan kualitas hidup kita malah semakin menurun? Mengapa anak bangsa yang bertaji di negeri orang menjadi melempem dan tidak bernyali di negeri sendiri? Apakah yang salah pada negara subur makmur “gemah ripah loh jinawi” ini?

Sungguh memprihantinkan bila dicermati lebih dalam, konservasi dan pelestarian sumber daya alam yang merupakan tanggung jawab baik pemerintah, swasta, akademisi, maupun masyarakat belum sepenuhnya dapat diaplikasikan sehingga menyebabkan hilangnya salah satu tempat sumber biodiversity di Indonesia. Padahal potensi megabiodiversity Negara Indonesia adalah salah satu hal pening yang harus kita kepada anak cucu kita. Tidaklah naif bila pada moment ini, ditengah maraknya isu-isu global permasalahan lingkungan di dunia sebagai waktu yang tepat dalam kita berperan bersama dan berkedudukan setara dalam menyelamatkan kekayaan hayati kita untuk generasi penerus. Berperan kita sesuai porsi masing-masing (akademisi, LSM, Pemerintah, pengusaha) dengan tetap mengarah pada satu tujuan kelestarian alam buat masa depan.

Beberapa tahun belakangan ini terdengung tentang pembangunan dan konservasi yang berkelanjutan (sustainable development and conservation). Dengan adanya deklarasi dari beberapa negara tentang MDGs (Millenium Development Goals) yang mana salah satunya adalah memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang. Yang menjadi pertanyaan mendasar kita adalah telah efektifkah kegiatan konservasi yang kita lakukan dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang tertuang dalam MDGs tersebut? Seberapa persen keberhasilan kegiatan konservasi yang kita lakukan?



0 komentar: